Didi Sungkono, S.H.,M.H.: Revolusi Mental Anggota POLRI, Kesadaran, Ketakutan Atau Hanya Ikut-Ikutan

    Didi Sungkono, S.H.,M.H.: Revolusi Mental Anggota POLRI, Kesadaran, Ketakutan Atau Hanya Ikut-Ikutan

    Surabaya - Di era kepemimpinan Presiden dengan latar belakang Jenderal TNI, yang mana sang Presiden sangat dieluh-eluhkan rakyat, dicintai oleh masyarakat Republik Indonesia, terkesan begitu besar harapan rakyat kepada sang pemimpin negeri.

    Presiden pilihan rakyat, diterima rakyat diberbagai kalangan, hal ini harus bisa dijadikan contoh tauladan oleh semua lini dan jajaran, baik dikabinet Merah Putih dan dijajaran para Menko yang membawahi kementerian-kementerian.

    Semua dirombak total oleh sang Jenderal, POLRI, Kemenhan, Panglima TNI dibawah Menko Polkam, sedangkan BIN sebagaimana diatur dalam PERPRES No 73 Tahun 2020 langsung dibawah Presiden Republik Indonesia. Ini merupakan itikad baik dari sang Jenderal, pilihan rakyat Indonesia.

    POLRI sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No 02 Tahun 2002 Tentang Kepolisian adalah sipil yang dipersenjatai. POLRI harus humanise, santun, sepenuh hati melayani masyarakat.

    Berulang kali POLRI mempunyai jargon, slogan yang bagus, untuk dibaca. Mulai dari PROMOTER, PRESISI, POLRI yang dicintai rakyat dan disegani oleh masyarakat itulah cerminan keberhasilan POLRI.

    Namun bagaikan mengantang asap, bagaikan menimbang angin, jauh dari harapan masyarakat. Karena apa sebab?. Karena kelakuan oknum-oknum seperti yang sering terjadi saat ini.

    Banyak keluhan masyarakat, yang punya usaha kecil kecilan dikirim "surat undangan, wawancara, klarifikasi." Lucu, geli dan aneh. Salah satu contoh, warung lesehan jualan penyet lele saja diundang, wawancara ke salah satu Subdit Indagsi di Polda.

    Pelaku usaha dalam surat undangan tersebut akan di wawancarai, karena diduga melakukan tindak pidana UU No. 08 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen dan akan dijerat dengan UU No.07 Tahun 2014 Tentang Kegiatan Perdagangan.

    Sampai kantor Polisi, Hand Phone (HP) dari masyarakat yang akan diwawancarai diperintahkan untuk ditaruh loker dan dikunci. Ini yang perlu dikritisi dan digaris bawahi. Kantor Polisi, gedung mewah tersebut dibangun dari uang rakyat, dari pajak-pajak rakyat, kenapa rakyat atau masyarakat yang akan memasuki gedung tersebut harus menitipkan HP?. Dimasukkan didalam loker (dilarang membawa alat komunikasi ).

    Tentunya masyarakat awam sangat ketakutan. Ini yang perlu dibenahi karena ini sangat bertentangan dengan UUD tahun 1945, bertentangan dengan UU No.39 Tahun 1999 Tentang HAM (Hak Asasi Manusia) dan UU No. 08 Tahun 1981 KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana), karena masyarakat yang diundang status hukumnya masih merdeka, bukan terpidana atau tersangka, atau terdakwa yang mana hak hukumnya akan dibatasi oleh aturan undang - undang yang ada.

    Sebagai Kapolri , Kapolda, Wakapolda, Para Direktur, Kasatwil harus mereformasi hal diatas. Inilah yang dinamakan reformasi birokrasi dan reformasi mental bagi POLRI.

    Revolusi mental bagi POLRI harus benar-benar dilaksanakan dengan sungguh-sungguh karena sekarang ini sudah dititik kritis (masyarakat cenderung tidak percaya dengan POLRI).

    Revolusi mental untuk melakukan perubahan mind set and culture set bagi anak bangsa kedepannya, terutama bagi kelangsungan POLRI kedepan akan semakin dipercaya oleh masyarakat.

    Indonesia akan menjadi bangsa yang hebat kalau penegak hukumnya (POLRI) dipercaya oleh masyarakat. Indonesia akan menjadi bangsa yang hebat, bangsa yang makmur, adil, sejahtera, berkeadilan dan beradab.

    Revolusi mental bagi oknum-oknum anggota POLRI harus dimulai dari atas, dari alumnus - alumnus Akademi Kepolisian, karena kelak yang akan mewarnai merah putihnya organisasi Kepolisian dimasa yang akan datang.

    Kalau revolusi mental tidak dimulai dari atas, penegasan kebawah, semuanya hanya akan lips service, karena akan rawan timbul penyimpangan-penyimpangan perilaku, yang ujungnya akan bermuara kepada masyarakat, akan timbul keresahan-keresahan dari masyarakat pelaku usaha, yang notabene akan dijadikan sasaran atau obyek.

    Revolusi mental bukan karena diperintah, bukan karena diancam bukan karena takut diviralkan, bukan untuk menjilat pimpinan agar mendapatkan promosi jabatan, sekolah dan lainnya. Revolusi mental merupakan suatu kesadaran yang akarnya adalah kemauan yang tulus untuk merubah demi norma, demi POLRI kedepannya agar selalu dicintai oleh masyarakat.

    POLRI kedepannya harus bisa menyiapkan kader-kader terbaiknya untuk dijadikan pimpinan disemua lini yang siap untuk menjadi ikon-ikon perubahan.

    Slogan PRESISI, BETAH (Bersih, Transparan, Akuntabel, Humanis) ini slogan yang sangat istimewa. Namun apakah sudah berjalan sesuai koridor?. Sudah diterapkan sebagaimana mestinya?. Karena tidak jarang (banyak) masyarakat yang dikecewakan oleh perilaku oknum-oknum POLRI itu sendiri.

    Salah satu contoh, ada masyarakat melapor motornya dicuri maling, bukan dibuatkan LP (Laporan Polisi) dan diadakan olah TKP (Tempat Kejadian Perkara) tapi masyarakat dikasih selembar surat DUMAS (Aduan Masyarakat) yang tidak akan berujung penyelesaiannya.

    Para alumnus-alumnus Akpol sebagai perumus kebijakan POLRI untuk kedepannya harus benar-benar ikhlas, berkorban baik ilmu, dedikasi dan tenaga secara jujur, bukan bersikap apatis kalau ada kritik dari masyarakat yang konstruktif.

    Revolusi mental, reformasi total sistem-sistem secara profesional, cerdas, bermoral, dan modern agar POLRI kedepan semakin terpercaya dan tidak tergerus oleh zaman.

    Alumnus-alumnus Akpol sebagai tonggak terdepan dalam perumus kebijakan, baik yang di MUTJAB (Mutasi Jabatan) BINKAR (Karier) harus benar-benar menyiapkan SDM (Sumber Daya Manusia) yang unggul , berkarakter, jujur dan berdedikasi tinggi.

    Ini semua bisa terlaksana kalau dalam perekrutan POLRI benar-benar transparan. Kapolri harus berani HAPUS KUOTA KHUSUS, baik dalam perekrutan AKPOL, Bintara atau tamtama. Semakin POLRI Profesional, masyarakat akan semakin nyaman, masyarakat akan merasa aman.

    Sebagai alumnus-alumnus Akpol, sebagai komandan , pemikir dan pengambil sebuah kebijakan harus bisa membangun sistem operasional yang mampu memberikan pelayanan prima kepada masyarakat yang humanisme, cek n ricek.

    Tentunya fungsi PROPAM harus dimaksimalkan, sistem operasional yang dapat dan mudah dijangkau oleh masyarakat untuk mendapatkan perlindungan hukum , mempermudah akses layanan, dengan nomor telepon 24 jam yang mudah dihubungi, untuk kepentingan masyarakat, standar pelayanan SOP berstandar international, ketepatan, akurasi, kecepatan, akuntabilitas, informasi-informasi yang mudah di akses (faktanya nomor telp 110) POLISI sering ditelepon tidak ada yang mengangkat (ini yang harus diperbaiki) untuk kepentingan masyarakat dan citra kepolisian RI sendiri.

    Karena secara garis besar, pelayanan kepolisian kepada masyarakat adalah pelayanan keamanan dan keselamatan, bukan pelayanan berdasarkan pemesanan. POLRI adalah alat negara, POLRI adalah sebuah organisasi besar milik bangsa dan negara, tugas utamanya adalah menjaga Kamdagri.

    Suatu organisasi yang besar agar mampu bertahan hidup dan tumbuh kembang membutuhkan ke eksisan secara positif dan produktif.

    Salah satu cerminan keberhasilan POLRI adalah mendapatkan kepercayaan dari masyarakat, dari rakyat dan mendapatkan dukungan dari yang dilayaninya, karena Polisi adalah bagian dari masyarakat.

    Berbagai pelayanan yang tidak profesional, tidak proporsional bersikap arogan akan sarat penyimpangan harus diperbaiki.

    Memperbaiki citra memiliki makna membangun kepercayaan dan karakter, membangun komitmen, tidak alergi kritik, segera memperbaiki apa yang kurang dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat secara maksimal. Karena akar masalah dari citra buruk disebabkan oleh rasa "kecewa" marah dan sakit hati.

    Citra buruk adalah produk dan sikap tidak profesional oknum Polisi, citra buruk dampak dari label atas cerminan dari penanganan kasus-kasus yang dilaporkan oleh masyarakat, dan penyelesaiannya.

    Ingat, jika kebencian sudah mendominasi opini publik, baik melalui sosmed, FB, TikTok, Twitter, akan bisa menjadi kebencian secara sosial yang akan membahayakan POLRI kedepannya. Rakyat, masyarakat merasa tidak mendapatkan keadilan yang seadil-adilnya.

    Tidak gampang memperbaiki citra buruk Polisi , mulai diterpa Sang Jenderal Polisi Bandar Narkoba, Sang Jenderal Polisi Pembunuh, dan lainnya, yang belum terekspos media massa .

    Tantangan terbesar POLRI, tantangan alumnus-alumnus Akpol, 10, 15 tahun kedepan akan menghadapi benturan dan penjegalan-penjegalan oleh para oknum, "kelompok status quo" dan kelompok comfort zone.

    Mereka-mereka yang sudah menikmati privilege dan menggerogoti bertahun-tahun akan merasa tentakel-tentakelnya ditebas putus (tidak jarang ada oknum Bintara berdinas ditempat basah hampir puluhan tahun) para kelompok-kelompok ini bagaikan sudah mati hati nuraninya, bagaikan premanisme birokrasi.

    Mereka-mereka adalah sang "Naga" sangat sakti mandraguna , memiliki kekuatan besar di belakangnya, pangkat tinggi, jabatan strategis, yang berlimpah (tidak ada serinya), link, jaringan, koneksi, cantrik-cantrik (pendukung, ponokawan, pesuruh).

    Antara harapan dan ancaman beda tipis, setipis kulit bawang. Kalau POLRI kedepannya mau dicintai oleh masyarakat, harus benar-benar ikhlas mereformasi organisasi dan merevolusi mental-mentalnya.@Red.

    Mayzha

    Mayzha

    Artikel Sebelumnya

    Serka Sukir: Komsos TNI Kunci Keamanan dan...

    Artikel Berikutnya

    Perhutani Banyuwangi Barat Goes To School

    Berita terkait